Pembangunan
Koperasi
Pembangunan
Koperasi di Negara Berkembang
Latar Belakang
Sejarah kelahiran dan
berkembangnya koperasi di negara maju (barat) dan negara berkembang memang
sangat diametral. Di barat koperasi lahir sebagai gerakan untuk melawan ketidakadilan
pasar, oleh karena itu tumbuh dan berkembang dalam suasana persaingan pasar.
Bahkan dengan kekuatannya itu koperasi meraih posisi tawar dan kedudukan
penting dalam konstelasi kebijakan ekonomi termasuk dalam perundingan
internasional. Peraturan perundangan yang mengatur koperasi tumbuh kemudian
sebagai tuntutan masyarakat koperasi dalam rangka melindungi dirinya. Di negara
berkembang koperasi dirasa perlu dihadirkan dalam kerangka membangun institusi
yang dapat menjadi mitra negara dalam menggerakkan pembangunan untuk mencapai
kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu kesadaran antara kesamaan dan
kemuliaan tujuan negara dan gerakan koperasi dalam memperjuangkan peningkatan
kesejahteraan masyarakat ditonjolkan di negara berkembang, baik oleh pemerintah
kolonial maupun pemerintahan bangsa sendiri setelah kemerdekaan. Berbagai
peraturan perundangan yang mengatur koperasi dilahirkan dengan maksud
mempercepat pengenalan koperasi dan memberikan arah bagi pengembangan koperasi
serta dukungan/perlindungan yang diperlukan.
Pada saat ini dengan
globalisasi dan runtuhnya perekonomian sosialis di Eropa Timur serta terbukanya
Afrika, maka gerakan koperasi di dunia telah mencapai suatu status yang menyatu
di seluruh dunia. Dimasa lalu jangkauan pertukaran pengalaman gerakan koperasi
dibatasi oleh blok politik/ekonomi, sehingga orang berbicara koperasi sering
dengan pengertian berbeda. Meskipun hingga tahun 1960-an konsep gerakan
koperasi belum mendapat kesepakatan secara internasional, namun dengan lahirnya
Revolusi ILO-127 tahun 1966 maka dasar pengembangan koperasi mulai digunakan
dengan tekanan pada saat itu adalah memanfaatkan model koperasi sebagai wahana
promosi kesejahteraan masyarakat, terutama kaum pekerja yang ketika itu kental
dengan sebutan kaum buruh. Sehingga syarat yang ditekankan bagi keanggotaan
koperasi adalah “Kemampuan untuk memanfaatkan jasa koperasi”. Dalam hal ini
resolusi tersebut telah mendorong tumbuhnya program-program pengembangan
koperasi yang lebih sistematis dan digalang secara internasional.
Pada akhir 1980-an
koperasi dunia mulai gelisah dengan proses globalisasi dan liberalisasi ekonomi
dimana-mana, sehingga berbagai langkah pengkajian ulang kekuatan koperasi
dilakukan. Hingga tahun 1992 Kongres ICA di Tokyo melalui pidato Presiden ICA
(Lars Marcus) masih melihat perlunya koperasi melihat pengalaman swasta, bahkan
laporan Sven Akheberg menganjurkan agar koperasi mengikuti layaknya “private
enterprise”. Namun dalam perdebatan Tokyo melahirkan kesepakatan untuk
mendalami kembali semangat koperasi dan mencari kekuatan gerakan koperasi serta
kembali kepada sebab di dirikannya koperasi. Sepuluh tahun kemudian Presiden
ICA saat ini Roberto Barberini menyatakan koperasi harus hidup dalam suasana
untuk mendapatkan perlakuan yang sama “equal treatment” sehingga apa yang dapat
dikerjakan oleh perusahaan lain juga harus terbuka bagi koperasi (ICA, 2002).
Koperasi kuat karena menganut “established for last”.
Pada tahun 1995 gerakan
koperasi menyelenggarakan Kongres koperasi di Manchester Inggris dan melahirkan
suatu landasan baru yang dinamakan International Cooperative Identity Statement
(ICIS) yang menjadi dasar tentang pengertian prinsip dan nilai dasar koperasi
untuk menjawab tantangan globalisasi. Patut dicatat satu hal bahwa kerisauan tentang
globalisasi dan liberalisasi perdagangan di berbagai negara terjawab oleh
gerakan koperasi dengan kembali pada jati diri, namun pengertian koperasi
sebagai “enterprise” dicantumkan secara eksplisit. Dengan demikian mengakhiri
perdebatan apakah koperasi lembaga bisnis atau lembaga “quasi-sosial”. Dan
sejak itu semangat untuk mengembangkan koperasi terus menggelora di berbagai
sistim ekonomi yang semula tertutup kini terbuka.
Catatan awal : “Dari
sini dapat ditarik catatan bahwa koperasi berkembang dengan keterbukaan,
sehingga liberalisasi perdagangan bukan musuh koperasi”.
Di kawasan Asia Pasifik
hal serupa ini juga terjadi sehingga pada tahun 1990 diadakan Konferensi
Pertama Para Menteri-Menteri yang bertanggung jawab dibidang koperasi di
Sydney, Australia. Pertemuan ini adalah kejadian kali pertama untuk
menjembatani aspirasi gerakan koperasi yang dimotori oleh ICA-Regional Office
of The Asian dan Pacific dengan pemerintah. Pertemuan ini telah melicinkan
jalan bagi komunikasi dua arah dan menjadi pertemuan regional yang reguler
setelah Konferensi ke II di Jakarta pada tahun 1992. Pesan Jakarta yang
terpenting adalah hubungan pemerintah dan gerakan koperasi terjadi karena
kesamaan tujuan antara negara dan gerakan koperasi, namun harus diingat program
bersama tidak harus mematikan inisiatif dan kemurnian koperasi. Pesan kedua
adalah kerjasama antara koperasi dan swasta (secara khusus disebut penjualan
saham kepada koperasi) boleh dilakukan sepanjang tidak menimbulkan erosi pada
prinsip dan nilai dasar koperasi.
Pengalaman Koperasi Di
Indonesia
Di Indonesia pengenalan
koperasi memang dilakukan oleh dorongan pemerintah, bahkan sejak pemerintahan
penjajahan Belanda telah mulai diperkenalkan. Gerakan koperasi sendiri
mendeklarasikan sebagai suatu gerakan sudah dimulai sejak tanggal 12 Juli 1947
melalui Kongres Koperasi di Tasikmalaya. Pengalaman di tanah air kita lebih
unik karena koperasi yang pernah lahir dan telah tumbuh secara alami di jaman
penjajahan, kemudian setelah kemerdekaan diperbaharui dan diberikan kedudukan
yang sangat tinggi dalam penjelasan undang-undang dasar. Dan atas dasar itulah
kemudian melahirkan berbagai penafsiran bagaimana harus mengembangkan koperasi.
Paling tidak dengan dasar yang kuat tersebut sejarah perkembangan koperasi di
Indonesia telah mencatat tiga pola pengembangan koperasi. Secara khusus
pemerintah memerankan fungsi “regulatory” dan “development” secara sekaligus
(Shankar 2002). Ciri utama perkembangan koperasi di Indonesia adalah dengan
pola penitipan kepada program yaitu : (i) Program pembangunan secara sektoral
seperti koperasi pertanian, koperasi desa, KUD; (ii) Lembaga-lembaga pemerintah
dalam koperasi pegawai negeri dan koperasi fungsional lainnya; dan (iii)
Perusahaan baik milik negara maupun swasta dalam koperasi karyawan. Sebagai
akibatnya prakarsa masyarakat luas kurang berkembang dan kalau ada tidak
diberikan tempat semestinya.
Selama ini “koperasi”
dikembangkan dengan dukungan pemerintah dengan basis sektor-sektor primer dan
distribusi yang memberikan lapangan kerja terbesar bagi penduduk Indonesia.
Sebagai contoh sebagian besar KUD sebagai koperasi program di sektor pertanian
didukung dengan program pembangunan untuk membangun KUD. Disisi lain pemerintah
memanfaatkan KUD untuk mendukung program pembangunan pertanian untuk swasembada
beras seperti yang se¬lama PJP I, menjadi ciri yang menonjol dalam politik
pem-bangunan koperasi. Bahkan koperasi secara eksplisit ditugasi melanjutkan
program yang kurang berhasil ditangani langsung oleh pemerintah bahkan bank
pemerintah, seperti penyaluran kredit BIMAS menjadi KUT, pola pengadaan beras
pemerintah, TRI dan lain-lain sampai pada penciptaan monopoli baru (cengkeh).
Sehingga nasib koperasi harus memikul beban kegagalan program, sementara
koperasi yang berswadaya praktis tersisihkan dari perhatian berbagai kalangan
termasuk para peneliti dan media masa. Dalam pandangan pengamatan internasional
Indonesia mengikuti lazimnya pemerintah di Asia yang melibatkan koperasi secara
terbatas seperti disektor pertanian (Sharma, 1992).
Pengalaman Umum
Kemajuan Koperasi : Mencari Determinan
Sejarah kelahiran
koperasi di dunia yang melahirkan model-model keberhasilan umumnya berangkat
dari tiga kutub besar, yaitu konsumen seperti di Inggris, kredit seperti yang
terjadi di Perancis dan Belanda kemudian produsen yang berkembang pesat di
daratan Amerika maupun di Eropa juga cukup maju. Namun ketika koperasi-koperasi
tersebut akhirnya mencapai kemajuan dapat dijelaskan bahwa pendapatan anggota
yang digambarkan oleh masyarakat pada umumnya telah melewati garis kemiskinan.
Contoh pada saat Revolusi Industri pendapatan/anggota di Inggris sudah berada
pada sekitar US$ 500,- atau di Denmark pada saat revolusi pendidikan dimulai
pendapatan per kapita di Denmark berada pada kisaran US$ 350,-. Hal ini menunjukkan
betapa pentingnya dukungan belanja rumah tangga baik sebagai produsen maupun
sebagai konsumen mampu menunjang kelayakan bisnis perusahaan koperasi. Pada
akhirnya penjumlahan keseluruhan transaksi para anggota harus menghasilkan
suatu volume penjualan yang mampu mendapatkan penerimaan koperasi yang layak
dimana hal ini ditentukan oleh rata-rata tingkat pendapatan atau skala kegiatan
ekonomi anggota.
Syarat 1 : “Skala usaha
koperasi harus layak secara ekonomi”.
Didaratan Eropa
koperasi tumbuh melalui koperasi kredit dan koperasi konsumen yang kuat hingga
disegani oleh berbagai kekuatan. Bahkan 2 (dua) bank terbesar di Eropa milik
koperasi yakni “Credit Agricole” di Perancis, RABO-Bank di Netherlands
Nurinchukin bank di Jepang dan lain-lain. Disamping itu hampir di setiap negara
menunjukkan adanya koperasi kredit yang kuat seperti Credit Union di Amerika
Utara dan lain-lain. Kredit sebagai kebutuhan universal bagi umat manusia
terlepas dari kedudukannya sebagai produsen maupun konsumen dan penerima penghasilan
tetap atau bukan adalah “potensial customer-member” dari koperasi kredit.
Syarat 2 : “Harus
memiliki cakupan kegiatan yang menjangkau kebutuhan masyarakat luas, kredit
(simpan-pinjam) dapat menjadi platform dasar menumbuhkan koperasi”.
Di manapun baik di
negara berkembang maupun di negara maju kita selalu disuguhkan contoh koperasi
yang berhasil, namun ada kesamaan universal yaitu koperasi peternak sapi perah
dan koperasi produsen susu, selalu menjadi contoh sukses dimana-mana. Secara
spesial terdapat contoh yang lain seperti produsen gandum di daratan Australia,
produsen kedele di Amerika Utara dan Selatan hingga petani tebu di India yang
menyamai kartel produsen. Keberhasilan universal koperasi produsen susu, baik
besar maupun kecil, di negara maju dan berkembang nampaknya terletak pada
keserasian struktur pasar dengan kehadiran koperasi, dengan demikian koperasi
terbukti merupakan kerjasama pasar yang tangguh untuk menghadapi ketidakadilan
pasar. Corak ketergantungan yang tinggi kegiatan produksi yang teratur dan
kontinyu menjadikan hubungan antara anggota dan koperasi sangat kukuh.
Syarat 3 : “Posisi
koperasi produsen yang menghadapi dilema bilateral monopoli menjadi akar
memperkuat posisi tawar koperasi”.
Di negara berkembang,
termasuk Indonesia, transparansi struktural tidak berjalan seperti yang dialami
oleh negara industri di Barat, upah buruh di pedesaan secara rill telah naik
ketika pengangguran meluas sehingga terjadi Lompatan ke sektor jasa terutama
sektor usaha mikro dan informal (Oshima, 1982). Oleh karena itu kita memiliki
kelompok penyedia jasa terutama disektor perdagangan seperti warung dan
pedagang pasar yang jumlahnya mencapai lebih dari 6 juta unit dan setiap hari
memerlukan barang dagangan. Potensi sektor ini cukup besar, tetapi belum ada
referensi dari pengalaman dunia. Koperasi yang berhasil di bidang ritel di
dunia adalah sistem pengadaan dan distribusi barang terutama di negara-negara
berkembang “user” atau anggotanya adalah para pedagang kecil sehingga model ini
harus dikembangkan sendiri oleh negara berkembang.
Koperasi selain sebagai
organisasi ekonomi juga merupakan organisasi pendidikan dan pada awalnya
koperasi maju ditopang oleh tingkat pendidikan anggota yang memudahkan lahirnya
kesadaran dan tanggung jawab bersama dalam sistem demokrasi dan tumbuhnya
kontrol sosial yang menjadi syarat berlangsungnya pengawasan oleh anggota
koperasi. Oleh karena itu kemajuan koperasi juga didasari oleh tingkat
perkembangan pendidikan dari masyarakat dimana diperlukan koperasi. Pada saat
ini masalah pendidikan bukan lagi hambatan karena rata-rata pendidikan penduduk
dimana telah meningkat. Bahkan teknologi informasi telah turut mendidik
masyarakat, meskipun juga ada dampak negatifnya.
Syarat 4 : “Pendidikan
dan peningkatan teknologi menjadi kunci untuk meningkatkan kekuatan koperasi
(pengembangan SDM)”.
Potret Koperasi
Indonesia
Sampai dengan bulan
November 2001, jumlah koperasi di seluruh Indonesia tercatat sebanyak 103.000
unit lebih, dengan jumlah keanggotaan ada sebanyak 26.000.000 orang. Jumlah itu
jika dibanding dengan jumlah koperasi per-Desember 1998 mengalami peningkatan
sebanyak dua kali lipat. Jumlah koperasi aktif, juga mengalami perkembangan
yang cukup menggembirakan. Jumlah koperasi aktif per-November 2001, sebanyak
96.180 unit (88,14 persen). Corak koperasi Indonesia adalah koperasi dengan
skala sangat kecil. Satu catatan yang perlu di ingat reformasi yang ditandai
dengan pencabutan Inpres 4/1984 tentang KUD telah melahirkan gairah masyarakat
untuk mengorganisasi kegiatan ekonomi yang melalui koperasi.
Secara historis
pengembangan koperasi di Indonesia yang telah digerakan melalui dukungan kuat
program pemerintah yang telah dijalankan dalam waktu lama, dan tidak mudah ke
luar dari kungkungan pengalaman tersebut. Jika semula ketergantungan terhadap
captive market program menjadi sumber pertumbuhan, maka pergeseran ke arah
peran swasta menjadi tantangan baru bagi lahirnya pesaing-pesaing usaha
terutama KUD. Meskipun KUD harus berjuang untuk menyesuaikan dengan perubahan
yang terjadi, namun sumbangan terbesar KUD adalah keberhasilan peningkatan
produksi pertanian terutama pangan (Anne Both, 1990), disamping sumbangan dalam
melahirkan kader wirausaha karena telah menikmati latihan dengan mengurus dan
mengelola KUD (Revolusi penggilingan kecil dan wirausahawan pribumi di desa).
Jika melihat posisi
koperasi pada hari ini sebenarnya masih cukup besar harapan kita kepada
koperasi. Memasuki tahun 2000 posisi koperasi Indonesia pada dasarnya justru
didominasi oleh koperasi kredit yang menguasai antara 55-60 persen dari
keseluruhan aset koperasi. Sementara itu dilihat dari populasi koperasi yang
terkait dengan program pemerintah hanya sekitar 25% dari populasi koperasi atau
sekitar 35% dari populasi koperasi aktif. Pada akhir-akhir ini posisi koperasi
dalam pasar perkreditan mikro menempati tempat kedua setelah BRI-unit desa
sebesar 46% dari KSP/USP dengan pangsa sekitar 31%. Dengan demikian walaupun
program pemerintah cukup gencar dan menimbulkan distorsi pada pertumbuhan
kemandirian koperasi, tetapi hanya menyentuh sebagian dari populasi koperasi
yang ada. Sehingga pada dasarnya masih besar elemen untuk tumbuhnya kemandirian
koperasi.
Mengenai jumlah
koperasi yang meningkat dua kali lipat dalam waktu 3 tahun 1998 –2001, pada
dasarnya tumbuh sebagai tanggapan terhadap dibukanya secara luas pendirian
koperasi dengan pencabutan Inpres 4/1984 dan lahirnya Inpres 18/1998. Sehingga
orang bebas mendirikan koperasi pada basis pengembangan dan pada saat ini sudah
lebih dari 35 basis pengorganisasian koperasi. Kesulitannya pengorganisasian
koperasi tidak lagi taat pada penjenisan koperasi sesuai prinsip dasar
pendirian koperasi atau insentif terhadap koperasi. Keadaan ini menimbulkan
kesulitan pada pengembangan aliansi bisnis maupun pengembangan usaha koperasi
kearah penyatuan vertical maupun horizontal. Oleh karena itu jenjang
pengorganisasian yang lebih tinggi harus mendorong kembalinya pola spesialisasi
koperasi. Di dunia masih tetap mendasarkan tiga varian jenis koperasi yaitu
konsumen, produsen dan kredit serta akhir-akhir ini berkembang jasa lainnya.
Struktur organisasi
koperasi Indonesia mirip organisasi pemerintah/lembaga kemasyarakatan yang
terstruktur dari primer sampai tingkat nasional. Hal ini telah menunjukkan
kurang efektif nya peran organisasi sekunder dalam membantu koperasi primer.
Tidak jarang menjadi instrumen eksploitasi sumberdaya dari daerah pengumpulan.
Fenomena ini dimasa datang harus diubah karena adanya perubahan orientasi
bisnis yang berkembang dengan globalisasi. Untuk mengubah arah ini hanya mampu
dilakukan bila penataan mulai diletakkan pada daerah otonom.
Koperasi Dalam Era
Otonomi Daerah
Implementasi undang-undang
otonomi daerah, akan memberikan dampak positif bagi koperasi dalam hal alokasi
sumber daya alam dan pelayanan pembinaan lainnya. Namun koperasi akan semakin
menghadapi masalah yang lebih intensif dengan pemerintah daerah dalam bentuk
penempatan lokasi investasi dan skala kegiatan koperasi. Karena azas efisiensi
akan mendesak koperasi untuk membangun jaringan yang luas dan mungkin melampaui
batas daerah otonom. Peranan advokasi oleh gerakan koperasi untuk memberikan
orientasi kepada pemerintah di daerah semakin penting. Dengan demikian peranan
pemerintah di tingkat propinsi yang diserahi tugas untuk pengembangan koperasi
harus mampu menjalankan fungsi intermediasi semacam ini. Mungkin juga dalam hal
lain yang berkaitan dengan pemanfaatan infrastruktur daerah yang semula menjadi
kewenangan pusat.
Peranan pengembangan
sistem lembaga keuangan koperasi di tingkat Kabupaten / Kota sebagai daerah
otonom menjadi sangat penting. Lembaga keuangan koperasi yang kokoh di daerah
otonom akan dapat menjangkau lapisan bawah dari ekonomi rakyat. Disamping itu
juga akan mampu berperan menahan arus keluar sumber keuangan daerah. Berbagai
studi menunjukan bahwa lembaga keuangan yang berbasis daerah akan lebih mampu
menahan arus kapital keluar, sementara sistem perbankan yang sentralistik
mendorong pengawasan modal dari secara tidak sehat.
Dukungan yang diperlukan
bagi koperasi untuk menghadapi berbagai rasionalisasi adalah keberadaan lembaga
jaminan kredit bagi koperasi dan usaha kecil di daerah. Dengan demikian
kehadiran lembaga jaminan akan menjadi elemen terpenting untuk percepatan
perkembangan koperasi di daerah. Lembaga jaminan kredit yang dapat dikembangkan
Pemerintah Daerah dalam bentuk patungan dengan stockholder yang luas. Hal ini
akan dapat mendesentralisasi pengembangan ekonomi rakyat dan dalam jangka
panjang akan menumbuhkan kemandirian daerah untuk mengarahkan aliran uang di
masing-masing daerah. Dalam jangka menengah koperasi juga perlu memikirkan
asuransi bagi para penabung.
Potensi koperasi pada
saat ini sudah mampu untuk memulai gerakan koperasi yang otonom, namun fokus
bisnis koperasi harus diarahkan pada ciri universalitas kebutuhan yang tinggi
seperti jasa keuangan, pelayanan infrastruktur serta pembelian bersama. Dengan
otonomi selain peluang untuk memanfaatkan potensi setempat juga terdapat
potensi benturan yang harus diselesaikan di tingkat daerah. Dalam hal ini
konsolidasi potensi keuangan, pengembangan jaringan informasi serta
pengembangan pusat inovasi dan teknologi merupakan kebutuhan pendukung untuk
kuatnya kehadiran koperasi. Pemerintah di daerah dapat mendorong pengembangan
lembaga penjamin kredit di daerah.
Pemusatan koperasi di
bidang jasa keuangan sangat tepat untuk dilakukan pada tingkat kabupaten/kota
atau “kabupaten dan kota” agar menjaga arus dana menjadi lebih seimbang dan
memperhatikan kepentingan daerah (masyarakat setempat). Fungsi pusat koperasi
jasa keuangan ini selain menjaga likuiditas juga dapat memainkan peran
pengawasan dan perbaikan manajemen hingga pengembangan sistem asuransi tabungan
yang dapat diintegrasikan dalam sistem asuransi secara nasional.
Penutup
Pendekatan pengembangan
koperasi sebagai instrumen pembangunan terbukti menimbulkan kelemahan dalam
menjadikan dirinya sebagai koperasi yang memegang prinsip-prinsip koperasi dan
sebagai badan usaha yang kompetitif. Reformasi kelembagaan koperasi menuju
koperasi dengan jatidirinya akan menjadi agenda panjang yang harus dilalui oleh
koperasi di Indonesia.
Dalam kerangka otonomi
daerah perlu penataan lembaga keuangan koperasi (koperasi simpan pinjam) untuk
memperkokoh pembiayaan kegiatan ekonomi di lapisan terbawah dan menahan arus ke
luar potensi sumberdaya lokal yang masih diperlukan. Pembenahan ini akan
merupakan elemen penting dalam membangun sistem pembiayaan mikro di tanah air
yang merupakan tulang punggung gerakan pemberdayaan ekonomi rakyat.
Kendala yang dihadapi
masyarakat dalam mengembangkan koperasi di Negara berkembang adalah sebagai
berikut :
- Sering koperasi, hanya dianggap
sebagai organisasi swadaya yang otonom partisipatif dan demokratis dari
rakyat kecil (kelas bawah) seperti petani, pengrajin, pedagang dan
pekerja/buruh
- Disamping itu ada berbagai pendapat
yang berbeda dan diskusi-diskusi yang controversial mengenai keberhasilan
dan kegagalan seta dampak koperasi terhadapa proses pembangunan ekonomi
social di negara-negara dunia ketiga (sedang berkembang) merupakan alas an
yang mendesak untuk mengadakan perbaikan tatacara evaluasi atas
organisasi-organisasi swadaya koperasi.
- Kriteria (tolok ukur) yang
dipergunakan untuk mengevaluasi koperasi seperti perkembangan anggota, dan
hasil penjualan koperasi kepada anggota, pangsa pasar penjualan koperasi,
modal penyertaan para anggota, cadangan SHU, rabat dan sebagainya, telah
dan masih sering digunakan sebagai indikator mengenai efisiensi koperasi.
Konsepsi mengenai
sponsor pemerintah dalam perkembangan koperasi yang otonom dalam bentuk model
tiga tahap, yaitu :
- Tahap pertama: Offisialisasi -->
Mendukung perintisan pembentukan Organisasi Koperasi. Tujuan utama selama
tahap ini adalah merintis pembentukan koperasi dari perusahaan koperasi,
menurut ukuran, struktur dan kemampuan manajemennya,cukup mampu melayani
kepentingan para anggotanya secara efisien dengan menawarkan barang dan
jasa yang sesuai dengan tujuan dan kebutuhannya dengan harapan agar dalam
jangka panjang mampu dipenuhi sendiri oleh organisasi koperasi yang
otonom.
- Tahap kedua: De Offisialisasi
--> Melepaskan koperasi dari ketergantungannya pada sponsor dan
pengawasan teknis, Manajemen dan keuangan secara langsung dari organisasi
yand dikendalikan oleh Negara. Tujuan utama dari tahap ini adalah
mendukung perkembangan sendiri koperasi ketingkat kemandirian dan otonomi
.artinya, bantuan, bimbingan dan pengawasan atau pengendalian langsung
harus dikurangi.
Kelemahan-kelemahan
dalam penerapan kebijakan dan program yang mensponsori pengembangan koperasi,
yaitu :
- Untuk membangkitkan motivasi para
petani agar menjadi anggota koperasi desa, ditumbuhkan harapan-harapan
yang tidak realistis pada kerjasama dalam koperasi bagi para anggota dan
diberikan janji-janji mengenai perlakuan istimewa melalui pemberian
bantuan pemerintah.
- Selama proses pembentukan koperasi
persyaratan dan kriteria yang yang mendasari pembentukan kelompok-kelompok
koperasi yang kuatdan, efisien, dan perusahaan koperasi yang mampu
mempertahankan kelangsungan hidupnya secara otonom, tidak mendapat
pertimbangan yang cukup.
- Karena alas an-alasan
administrative, kegiatan pemerintah seringkali dipusatkan pada pembentukan
perusahaan koperasi, dan mengabaikan penyuluhan, pendidikan dan latihan
para naggota, anggota pengurus dan manajer yang dinamis, dan terutama
mengabaikan pula strategi-strategi yang mendukung perkembangan sendiri
atas dasar keikutsertaan anggota koperasi.
- Koperasi telah dibebani dengan
tugas-tugas untuk menyediakan berbagai jenis jasa bagi para anggotanya
(misalnya kredit), sekalipun langkah-langkah yang diperlukan dan bersifat
melengkapi belum dilakukan oleh badan pemerintah yang bersangkutan
(misalnya penyuluhan).
- Koperasi telah diserahi tugas, atau
ditugaskan untuk menangani program pemerintah, walaupun perusahaan
koperasi tersebut belum memiliki kemampuan yang diperlukan bagi
keberhasilan pelaksanaan tugas dan program itu.
- Tujuan dan kegiatan perusahaan
koperasi (yang secara administratif dipengaruhi oleh instansi dan pegawai
pemerintah) tidak cukup mempertimbangkan, atau bahkan bertentangan dengan,
kepentingan dan kebutuhan subyektif yang mendesak, dan tujuan-tujuan yang
berorientasi pada pembangunan para individu dan kelompok anggota.
A. Permasalahan dalam
Pembangunan Koperasi
Koperasi bukan kumpulan
modal, dengan demikian tujuan pokoknya harus benar-benar mengabdi untuk
kepentingan anggota dan masyarakat di sekitarnya. Pembangunan koperasi di
Indonesia dihadapkan pada dua masalah pokok yaitu :
- Masalah internal koperasi antara
lain: kurangnya pemahaman anggota akan manfaat koperasi dan pengetahuan
tentang kewajiban sebagai anggota. Harus ada sekelompok orang yang punya
kepentingan ekonomi bersama yang bersedia bekerja sama dan mengadakan
ikatan sosial. Dalam kelompok tersebut harus ada tokoh yang berfungsi
sebagai penggerak organisatoris untuk menggerakkan koperasi ke arah
sasaran yang benar.
- Masalah eksternal koperasi antara
lain iklim yang mendukung pertumbuhan koperasi belum selaras dengan
kehendak anggota koperasi, seperti kebijakan pemerintah yang jelas dan
efektif untuk perjuangan koperasi, sistem prasarana, pelayanan,
pendidikan, dan penyuluhan.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar